Ide tulisan ini datang dari obrolan saya dengan mbak Petty Fatimahdari majalah Femina dan diskusi seru di Twitter mengenai nasib media konvensional (khususnya cetak) di tengah terjangan tsunami digital. Mbak Petty adalah Chief Community Officer (CCO) Femina. Saat pertama mengetahui jabatannya melalui kartu nama yang ia berikan, saya langsung kaget. Saya sudah membaca dan mendengar jabatan itu sejak lama dari majalah-majalah bisnis asing atau dari artikel-artikel di internet mengenai socmed dan community marketing. Tapi itu di Amerika, bukan di sini. Memang jabatan itu kini lagi hot-hot-nya di kalangan corporate America.
Di Indonesia, seumur-umur saya baru melihat title itu ya di kartu nama mbak Petty. Saya pun langsung curiga: Ini title, title-title-an atau title sungguhan? Ngobrol cukup lama dengan mbak Petty saya kian tahu bahwa itu title sungguhan. Ya, karena model bisnis Femina sudah berubah sedemikian rupa sehingga title Pemimpin Redaksi memang sudah tak relevan lagi disandang oleh pimpinan puncak perusahaan media satu ini.
ICC
Menarik sekali mencermati bagaimana mbak Petty mendefinisikan model bisnis Femina setelah bermetamorfose selama sekitar lima tahun terakhir sejak 2007. Setelah puluhan tahun beroperasi, Femina punya basis konsumen yang solid yaitu para pembacanya yang loyal. Femina punya konten, itu pasti. Femina juga punya mitra setia yaitu para pengiklan yang sudah dibangun business relationship-nya selama bertahun-tahun.
Maka kemudian yang dilakukan oleh Femina adalah mengaktifasi basis konsumen yang solid itu menjadi komunitas-komunitas sesuai dengan minat bersama (common interest) mereka: ada komunitas wanita wirausaha (Wanwir), ada komunitas para wanita karir, ada komunitas wanita penyuka kuliner, dst-dst (saat ini terdapat 9 komunitas). Setelah dibangun komunitas-komunitas, maka kemudian profil dan perilaku komunitas itu dipelajari secara mendalam. Bahkan Femina memiliki divisi riset khusus yang secara periodik menggali insight-insight berharga mengenai perilaku komunitas ini.
Insight-insight berharga ini adalah layaknya harta karun bagi Femina, karena dari situ Femina bisa merancang ide-ide program komunikasi dan aktifasi yang luar biasa. Ide-ide program yang luar biasa inilah yang kemudian ditawarkan kepada para pemilik merek sebagai sebuah solusi komunikasi dan pemasaran yang cespleng.
Di dalam model bisnis baru ini Femina sudah menjadi konsultan bagi pemilik merek, dengan bermodal pemahaman terhadap perilaku komunitas konsumen yang solid. Jadi, alih-alih jualan space iklan seperti kebanyakan penerbit cetak, Femina memosisikan diri sebagai konsultan komunikasi terintegrasi. Di Femina, ini disebut sebagai:Integrated Creative Communication (ICC).
MC = CC
Metamorfose Femina membuat saya merenung. Tsunami digital boleh memporak-porandakan perusahaan media secanggih Newsweeksekalipun, namun kalau perusahaan selalu fokus pada aset utamanya, yaitu konsumen, maka prahara digital bisa dikelola secara mumpuni.Customer-centricity yaitu selalu fokus pada pemahaman kebutuhan dan preferensi konsumen telah memungkinkan Femina menemukan model bisnis ampuh yang membuatnya sustainable di tengah ontran-ontran tsunami digital yang mematikan.
Metamorfose Femina semakin meyakinkan saya bahwa at the end of the day, bisnis media akan menjadi bisnis komunitas. Saya menyebutnya dengan sebuah formula simpel: MC = CC. Kalau dipanjangkan formula itu berbunyi begini: ujung-ujungnya setiapMedia Company akan menjadi Community Company. Untuk lolos dari terjangan tsunami digital perusahaan media haruslah dengan cepat memetamorfose basis konsumennya yang massif menjadi komunitas-komunitas konsumen yang solid. Lalu komunitas-komunitas konsumen itu dimonetisasi melalui penerapan model bisnis yang tepat dansustainable.
Apa jadinya kalau formula di atas dilanggar? Apa jadinya kalau perusahaan media tidak sigap memetamorfose diri menjadi community company? Jawabnya gampang ditebak: Be community company or you will die!!! Berubah menjadi perusahaan beraset komunitas seperti Twitter atau Facebook; atau mereka cepat atau lambat akan mati diterjang tsunami digital. Atau istilah slengekan-nya: di-Newsweek-kan
CE = CCO
Karena itu, seperti yang dilakukan Femina, yang dibutuhkan oleh perusahaan media kini bukanlah operasi bisul atau usus buntu dengan bius lokal, tapi operasi besar-besaran dengan bius total sekujur tubuh. Kalau pakai istilah bengkel, perusahaan media kini butuh overhaulbesar-besaran atau turun mesin. Nggak bisa cuma tambal sana tambal sini, atau permak sana permak sini. Perusahaan media di manapun perlu yang namanya: big-big corporate surgery.
Pertama, tentu mengubah secara fundamental model bisnisnya dari model bisnis jualan berita menjadi model bisnis pengelolaan komunitas konsumen. Kedua, kalau model bisnis berubah maka semuanya akan berubah: mulai dari strategi, struktur organisasi, proses bisnis,sistem dan model operasi, hingga sampai ke revenue model-nya (nggak bisa lagi cuma jualan space iklan). Tapi di atas itu semua yang pertama dan terutama adalah mengubah mindset dan paradigma dari pemimpin redaksi, redaktur, wartawan, pemimpin perusahaan, staf sirkulasi, hingga account executive agar fit dengan model bisnis yang baru. Ingat, business model transformation is about culture transformation.
Kalau agenda operasi bedahnya demikian seabrek seperti itu, pertanyaannya, lalu harus mulai dari mana? Usulan saya straight forward, yaitu seperti halnya yang dilakukan Femina, menggantijabatan Chief Editor menjadi Chief Community Officer: CE = CCO.
Seperti dijelaskan mbak Petty, sosok seorang CE dan CCO berbeda sama sekali kayak bumi dan langit. CCO tak cukup hanya sebatas piawai menulis, memimpin rapat redaksi, atau berolah ide merumuskan tema-tema rubrikasi. Seorang CCO juga sosok networker; sosokcommunity facilitator; sosok good listener; sosok yang supel danluwes bersosialisasi; sosok member connector; sosok conversations-builder; sosok passionate collaborator; dan sosok seorang great influencer.
Wahai perusahaan media, siapa yang berani ambil tantangan saya: mengganti posisi CE Anda menjadi CCO? Di sini uji nyali dimulai.